Biografi KH. Ahmad Asrori al-Ishaqi

 


Kelahiran

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi lahir pada 17 Agustus 1951 di Surabaya. Beliau merupakan putra dar KH. M. Utsman Al Ishaqi, seorang Mursyid Thariqah Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah dan juga seorang pengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya.

Nama Al-Ishaqi dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena KH. Utsman masih keturunan Sunan Giri.

Nasab

Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.

Wafat

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi wafat pada 18 Agustus 2009. Jenazah beliau dimakamkan di lingkungan Pesantren Al-Fithrah, Kedinding, Surabaya.

Kepergian KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi terdengar keseluruh pelosok Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Hongkong dan Australia. Hingga mereka datang langsung ke Pesantren al-Fitrah untuk membacakan doa,  tahlil dan Yasinan di depan pusara makam Pimpinan Tarekat Qodiriyah Wanaqsabandiyah Al Usmaniyah.

Keluarga

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi melepas masa lajangnya dengan menikahi Hj. Sulistyowati. Buah dari pernikahannya, beliau dikaruniai lima orang anak (2 laki, 3 putri), diantaranya:

  1. Siera Annadia
  2. Sefira Assalafi
  3. Ainul Yaqien
  4. Nurul Yaqien
  5. Siela Assabarina.

Pendidikan

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi memulai pendidikannya dengan belajar di Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan Jombang, Jawa Timur. Setelah selesai, beliau kemudian melanjutkan dengan belajar di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Pare, Kediri, Jawa Timur.

Kemudian melanjutkannya lagi dengan belajar di Pondok Pesantren Al-Munawwir Yogyakarta. Hingga Pendidikan terakhirnya, di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, Jawa Barat.

Mendirikan Pesantren

Setelah memegang posisi mursyid dan melanjutkan aktivitas pengajian di kediaman sang ayah di Jatipurwo, Surabaya, KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi awalnya hanya menerima beberapa anak yang dititipkan jamaah pengajian tarekat untuk belajar agama.

Lambat laun, semakin banyak jamaah yang menitipkan anaknya untuk belajar. Kiai Asrori kemudian berinisiatif memindahkan aktivitas tarekatnya ke Kedinding Lor pada 1985. Di tempat ini, ia memiliki sepetak lahan yang di atasnya kemudian dibangun ponpes.

Seiring bergulirnya waktu, Ponpes Al Fithrah pun terus berkembang dan kini telah menempati lahan seluas tiga hektare. Tentu saja, pembangunan dan perluasan ponpes ini dilakukan secara bertahap, baik dengan dana pribadi maupun sumbangan dari para santri.

Dengan jumlah santri lebih dari 3.000 orang, Ponpes Al Fithrah kini mengelola semua jenjang pendidikan, mulai dari TK, Madrasah Ibtidaiyah, Aliyah Muadalah, Ma'had Aly, Taman Pendidikan Alquran (TPQ), hingga Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Fithrah.

Selain untuk sarana pendidikan, ponpes ini sering kali digunakan sebagai tempat untuk menggelar acara besar tarekat, seperti haul akbar yang dihadiri ribuan pengikut tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah.

Beberapa politisi kondang negeri ini juga pernah berkunjung ke ponpes ini. Namun, hal itu tak lantas membuat Kiai Asrori jemawa lalu terseret ke politik praktis. Di kalangan orang-orang terdekatnya, Kiai Asrori dikenal sebagai sosok yang tak haus publikasi. Ia pun sangat jarang marah. Seperti pernah dikatakan sang istri, Nyai Mutia, bahwa suaminya adalah sosok yang sangat menghormati orang lain.

Mursyid Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah

Sang ayah adalah salah satu dari tiga pimpinan tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah. Dua mursyid lainnya adalah KH. Makki dari Karangkates, Kediri, dan KH. Bahri dari Mojosari, Mojokerto.

Sepeninggal KH. Utsman pada 1984, kepemimpinan tarekat dilanjutkan oleh KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi. Estafet kepemimpinan tarekat kepada Kiai Asrori memang sesuai dengan wasiat Kiai Utsman.

Saat itu, KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi berusia 30 tahun dan dinilai masih terlalu muda untuk menjadi seorang mursyid. Namun, berkat kecerdasan dan ketawadhuannya (rendah hati), ia berhasil menjalankan perannya sebagai pemimpin tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah. Sikap istiqamahnya menjadi panutan jamaah tarekat dari seluruh dunia.

Di bawah kepemimpinan Kiai Asrori, tarekat Qodariyah Wa Naqsyabandiyah berkembang pesat, terutama di Indonesia. Terlebih, setelah dua kepemimpinan tarekat di Kediri dan Mojokerto mulai terseret dunia politik.

Tarekat Qadariyah Wa Naqsyabandiyah pimpinan Kiai Asrori pun menjadi alternatif di kalangan penganut tarekat karena dianggap lebih netral dan mengayomi umat.

Teladan

Oleh para sahabat, santri, dan para pengikutnya, KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi dikenal sebagai pribadi yang memiliki kesantunan luar biasa. Tak hanya di kalangan tarekat dan ponpes, Kiai Asrori juga mampu bergaul dengan kalangan profesional melalui pendekatan yang dianggap kalangan pondok tidak lazim.

Keluwesan sang kiai menyampaikan pesan Islam membuat beberapa kalangan profesional terpikat untuk bergabung ke dalam tarekat. Wijsnu menyebut, cukup banyak murid Kiai Asrori yang berlatar belakang akademisi, arsitek, pejabat, hingga pengusaha.

Bahkan, sejumlah warga keturunan Tionghoa dari Surabaya dan Semarang pun tertarik mengikuti pengajian beliau. Mereka tertarik mendengarkan petuah-petuah sang kiai karena pesan yang ia sampaikan selalu menyejukkan dan tidak pernah memvonis.

sumber : https://www.laduni.id 

--------------------------⁣⁣⁣⁣⁣
Resep Masakan Rumahan
Rental Mobil Semarang
Syafa Aulia Rahmah
Info Warga Jateng
Mancing Gayeng
Yuni Almus